Pengikut

Sabtu, 13 September 2014

Qawaid fiqhiyyah keyakinan menghilangkan keraguan




1.
اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِا لشَّكِّ

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
keyakinan (al-yaqin) adalah kepastian akan tetapi tidaknya sesuatu, sedangkan keraguan (asy-syakk) adalah ketidakpastian antara tetap tidaknya sesuatu. Asumsi kuat (zhann) yang membuat sesuatu mendekati makna yakin dari segi tetap atau tidaknya, menurut  syarat dihukumi sama seperti keyakinan.
kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya, akan tetapi  ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi kuat yang menyatakan sebaliknya.
Dalil yang menjadi kaidah tersebut adalah hadis yang diriwayatkan muslim dari Abu Hurairah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abu Huroiroh berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(HR. Muslim : 362)
Menurut al-Nawawi, hadis ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi Islam yang kemudian dijadikan fundamen terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadis ini pula terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status objek, yakni dengan cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi keasliannya. Secara eksplisit, hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini, Nabi menegaskan, keraguan yang baru timbul itu tidak dapat mempengaruhistatus wudhunya. Kecuali jika memang telah benar-benar mendengar bunyi


atau mencium bau angin tersebut. Proses mendengar maupun mencium bau ini, bisa dijadikan sebuah indikasi kuat bahwa wudhunya telah batal. [1]
hadis riwayat Muslim r.a.:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَان
“apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat? Maka hendaklah dia membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpeganglah pada keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi)-lah dua kali sebelum salam. Jika (kenyataannya) dia shalat sampai lima raka’at, maka shalatnya akan akan genaplah shalatnya. Namun bila –ternyata- empat rakaat, maka dua sujudnya akan membuat malu setan” (HR. Muslim : 571)
Hadis ini berbicara mengenai keraguan yang terjadi pada jumlah bilangan rakaat. Apabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan raka’at, maka yang di jadikan pedoman adalah bilangan minimal. Sebab bilangan inilah yang di yakini. Karena apabila yang dipilih adalah bilangan yang lebih besar , maka ada kemungkinan akan salah perhitungan. Tapi jika jumlah minimal yang menjadi pilihan sebagai landasan untuk meneruskan shalat, kemungkinan salahnya tipis.
Diantara hukum-hukum aplikatif yang menjadi contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut.
1.      Seorang istri mengaku belum diberi nafkah untuk beberapa waktu, maka yang dianggap benar adalah kata si istri, karena yang meyakinkan adanya tanggung jawab suami terhadap istrinya untuk member nafkah kecuali apabila si suami mempunyai bukti yang meyakinkan pula.
Seorang debitor mengaku telah membayar utangnya kepada kreditor, tetapi si kreditor tidak mengakuinnya, maka yang meyakinkan adalah belum ada pembayaran utang, kecuali ada bukti yang lain yang meyakinkan pula. Misalnya, adanya kwitansi pembayaran yang sah.lain lagi halnya dengan kasus misalnya, si A mengaku bahwasi B berhutang kepadanya,tetapi si B menyatakan bahwa dia tidak mempunyai utang dengan si A.maka,yang diakui adalah perkataan si B,karena pada asalnya tidak ada utang piutang antara si A dan si B.kecuali si A mempunyai bukti yang sah dan meyakinkan bahwa si B mempunyai utang kepadanya .misalnya kwitansi penyerahan uang dari si A kepada si B
1.    misalnya kwitansi penyerahan uang dari si A kepada si B.
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam hukum barat selain itu secara normal, seorang muslim harus memiliki khusnudzon sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik[2]

1.     


[1] Aziz Abdul, Qawa’id fiqhiyyah. Amzah. Jakarta. 2009 hlm.15
[2] Prof.H.A.DJAZULI,Kaidah-Kaidah Fiqih.Jakarta:Kencana,2007hlm.42-54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar