1.
اَلْيَقِيْنُ لَا
يُزَالُ بِا لشَّكِّ
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan
adanya keraguan”
keyakinan
(al-yaqin) adalah kepastian akan tetapi tidaknya sesuatu, sedangkan keraguan
(asy-syakk) adalah ketidakpastian antara tetap tidaknya sesuatu. Asumsi kuat
(zhann) yang membuat sesuatu mendekati makna yakin dari segi tetap atau
tidaknya, menurut syarat dihukumi sama
seperti keyakinan.
kaidah ini
berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu
sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai
bentuk kontradiktifnya, akan tetapi ia
hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi kuat yang menyatakan
sebaliknya.
Dalil yang
menjadi kaidah tersebut adalah hadis yang diriwayatkan muslim dari Abu Hurairah
:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي
بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا
يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Huroiroh berkata :
Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu
dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu
(kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar
suara atau mencium bau.”
(HR. Muslim : 362)
Menurut al-Nawawi, hadis
ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi Islam yang kemudian
dijadikan fundamen terbangunnya kaidah-kaidah fiqh. Dari hadis ini pula
terbangun konsep serta metodologi-analitis mengenai status objek, yakni dengan
cara melihat status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur
eksternal yang valid dan mampu mempengaruhi keasliannya. Secara eksplisit,
hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah
merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini, Nabi menegaskan,
keraguan yang baru timbul itu tidak dapat mempengaruhistatus wudhunya. Kecuali
jika memang telah benar-benar mendengar bunyi
atau mencium bau
angin tersebut. Proses mendengar maupun mencium bau ini, bisa dijadikan sebuah
indikasi kuat bahwa wudhunya telah batal. [1]
hadis
riwayat Muslim r.a.:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي
صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ
وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ
يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ
صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَان
“apabila salah seorang
diantara kalian ragu dalam shalatnya, apakah dia telah mencapai tiga atau empat
rakaat? Maka hendaklah dia membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpeganglah
pada keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi)-lah dua kali sebelum salam.
Jika (kenyataannya) dia shalat sampai lima raka’at, maka shalatnya akan akan
genaplah shalatnya. Namun bila –ternyata- empat rakaat, maka dua sujudnya akan
membuat malu setan” (HR. Muslim : 571)
Hadis ini berbicara mengenai keraguan yang terjadi pada
jumlah bilangan rakaat. Apabila dalam shalat timbul keraguan mengenai jumlah
bilangan raka’at, maka yang di jadikan pedoman adalah bilangan minimal. Sebab
bilangan inilah yang di yakini. Karena apabila yang dipilih adalah bilangan
yang lebih besar , maka ada kemungkinan akan salah perhitungan. Tapi jika
jumlah minimal yang menjadi pilihan sebagai landasan untuk meneruskan shalat,
kemungkinan salahnya tipis.
Diantara
hukum-hukum aplikatif yang menjadi contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai
berikut.
1.
Seorang istri mengaku
belum diberi nafkah untuk beberapa waktu, maka yang dianggap benar adalah kata
si istri, karena yang meyakinkan adanya tanggung jawab suami terhadap istrinya
untuk member nafkah kecuali apabila si suami mempunyai bukti yang meyakinkan
pula.
Seorang debitor mengaku
telah membayar utangnya kepada kreditor, tetapi si kreditor tidak mengakuinnya,
maka yang meyakinkan adalah belum ada pembayaran utang, kecuali ada bukti yang
lain yang meyakinkan pula. Misalnya, adanya kwitansi pembayaran yang sah.lain
lagi halnya dengan kasus misalnya, si A mengaku bahwasi B berhutang kepadanya,tetapi
si B menyatakan bahwa dia tidak mempunyai utang dengan si A.maka,yang
diakui adalah perkataan si B,karena pada asalnya tidak ada utang piutang antara si
A dan si B.kecuali si A mempunyai bukti yang sah dan meyakinkan bahwa si B
mempunyai utang kepadanya .misalnya kwitansi penyerahan uang dari si A kepada
si B
1. misalnya kwitansi penyerahan uang dari si A kepada
si B.
Kaidah ini sama dengan
asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam hukum barat selain
itu secara normal, seorang muslim harus memiliki khusnudzon sebelum ada bukti
yang meyakinkan bahwa dia tidak baik[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar