A.
Pengertian
Ijarah
Menurut
etimologi, ijarah adalah بَيْعُ
الْمَنْفَعَةِ(menjual manfaat). Demikian juga artinya menurut terminologi
syara’ yang dikemukakan menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a.
Ulama
Hanafiyah:
عَقْدٌ
عَلَى الْمَنَا فِعِ بِعَوْضٍ
Artinya
“Akad
atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.
Ulama
Asy-Syafi’iyah:
عَقْدٌ
عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَا حَةٍ قَا بِلَةٍ لِلْبَذْلِ
وَاْلإِبَا حَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ.
Artinya
“Akad
atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c.
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah:
تَمْلِيْكُ
مَنَا فِعِ شَىْءٍ مُبَا حَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya
“Menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Ada yang
menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah), yaitu mengambil
manfaat tenaga manusia, ada juga yang menerjemahkan sewa-menyewa, yaitu
mengambil manfaat dari barang. Namun, jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa
ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan
bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil
buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan
lain-lain, karena semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.
B.
Dasar
Hukum Ijarah
Hampir
semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam. Adapun
golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn
Aliah, Hasan Al-Basri, Al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibn Kaisan beralasan bahwa
ijarah adalah jual-beli kemanfataan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada).
Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual-beli.
Dalam
menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd
berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat
pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur
ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Quran, A-Sunah dan
ijma’.
a.
Al-Quran
÷bÎ*sù
...z`÷è|Êör&ö/ä3s9£`èdqè?$t«sù£`èduqã_é&....
“kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Thalaq : 6)
26. Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
27.
Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu
insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
(QS.
Al-Qashash : 26-27)
b.
As-Sunah
اُعْطُواالْاَخِيْرَاَجْرَهُ
قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه ابن ما جه عن ا بن عمر)
“Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah dari Ibn Umar)
مَنِ
اسْتَأْ جَرَاَجِيْرًا فَلْيَعْمَلْ اَجْرَهُ. (رواه عبدالرزاق عن أبى هريرة)
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi
buruh. Beri tahukanlah upahnya.” (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c.
Ijma’
Umat
Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat
bagi manusia.
C.
Rukun
dan Syarat-syarat Ijarah
a.
Rukun
Ijarah
Menurut
Jumhur ulama, rukun ijarah terdiri atas empat, yaitu:
1.
‘Aqid
(orang yang akad)
2.
Shighat
akad
3.
Ujrah
(upah)
4.
Manfaat
b.
Syarat
Ijarah
Syarat
ijarah terdiri atas empat macam, yaitu:
1.
Syarat
Al-inqad (Terjadinya Akad)
Syarat
ini berkaitan dengan aqid, zat akad dan tempat akad.
Menurut
ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus
berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh.
Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz
dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Jadi, akad anak mumayyiz adalah sah
tetapi tergantung atas keridhaan walinya.
Ulama
Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf yaitu
baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli
akad.
2.
Syarat
Pelaksanaan (an-nafadz)
Barang
yang harus dimiliki oleh ‘aqid memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).
Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang
tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat
menjadikan adanya ijarah.
3.
Syarat
Sah Ijarah
Keabsahan
ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih
(barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs
al-‘aqad), antara lain:
a)
Adanya
keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat
tersebur didasarkan pada firman Allah SWT.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ : 29)
Ijarah
dapat dikategorikan jual-beli karena mengandung unsur pertukaran harta.
b)
Ma’qud
‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya
kejelasan pada ma’qud ‘alaih (barang) menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid.
Cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang), antara lain:
·
Penjelasan
manfaat
·
Penjelasan
waktu
·
Sewa
bulanan
·
Penjelasan
jenis pekerjaan
·
Penjelasan
waktu kerja
c)
Ma’qud
‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi syarat
d)
Kemanfaatan
benda dibolehkan menurut syara’
Pemanfaatan
barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’, seperti
menyewakan rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu, dan
lain-lain.
e)
Tidak
menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Misalnya
menyewa orang untuk shalat fardu, puasa dan kewajiban yang lainnya.
f)
Tidak
mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak
menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan karena manfaat dari ketaatan tersebut
adalah untuk dirinya. Selain itu juga tidak boleh mengambil manfaat dari sisa
hasil pekerjaannya.
g)
Manfaat
ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak
boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung karena tidak
sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.
4.
Syarat
Barang Sewaan (Ma’qud ‘Alaih)
Syarat
barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai. Hal itu didasarkan pada
hadits Rasulullah SAW. yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang
atau dikuasai, sebagaimana dalam jual-beli.
5.
Syarat
Ujrah (Upah)
Para
ulama telah menetapkan syarah upah, yaitu:
·
Berupa
harta tetap yang dapat diketahui
·
Tidak
boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah
6.
Syarat
yang Kembali pada Rukun Akad
Akad
disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam
akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh
pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.
7.
Syarat
Kelaziman
Syarat
kelaziman ijarah terdiri atas dua hal, antara lain:
·
Ma’qud
‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
Jika
terdapat cacat pada barang sewaan, penyewa boleh memilih antara meneruskan
dengan membayar penuh atau membatalkannya.
·
Tidak
ada uzur yang dapat membatalkan akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya uzur
sebab kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur disini adalah
sesuatu yang baru yang menyebabkan kemudharatan bagi yang akad. Uzur dapat
dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
a)
Uzur
dari pihak penyewa
b)
Uzur
dari pihak yang disewa
c)
Uzur
dari barang yang disewa
Menurut jumhur ulama, ijarah adalah akad lazim, seperti jual-beli.
Oleh karena itu, tidak bisa batal tanpa ada sebab yang membatalkannya.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, jika tidak ada uzur tetapi masih
memungkinkan untuk diganti dengan barang yang lain, maka ijarah tidak batal
tetapi diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika
kemanfaatannya benar-benar hilang, seperti hancurnya rumah yang disewakan.
D.
Sifat
dan Hukum Akad Ijarah
Mengenai
sifat akad ijarah, para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mensifati akad
ijarah. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi
boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak
yang berakad. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa akad ijarah itu bersifat
mengikat, kecuali terdapat cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.
Sedangkan
hukum ijarah sendiri itu ada dua, yaitu :
1.
Hukum
ijarah shahih, yaitu tetapnya kepemilikan kemanfaatan bagi penyewa, dan
tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan, sebab ijarah termasuk
akad jual beli pertukaran hanya saja dalam bentuk kemanfaatan.
2.
Hukum
ijarah rusak, yaitu jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang
menyewakan atau orang yang bekerja itu dibayar lebih kecil dari kesepakatan
pada waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi,
jika kerusakan itu disebabkan penyewa tidak memberi tahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya upah harus diberikan semestinya.
E.
Macam-macam
Ijarah
Dalam
hukum islam macam-macam ijarah terbagi menjadi dua, yaitu :
1.
Ijarah
yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa
2.
Ijarah
yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk
memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya
sewa.
F.
Tanggung
Jawab rusaknya objek Ijarah
Tanggungjawab
seorang Ajir
1.
Ajir
Khusus
Ajir
khusus yaitu orang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti
pembantu rumah tangga. Jika ada barang yang rusak, ia tidak bertanggung jawab
untuk menggantinya.
2.
Ajir
Musytarik
Ajir
musytarik itu misalnya seperti para pekerja pabrik. Para ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan tanggung jawab mereka.
1.
Menurut
Imam Ahmad dan dua sahabat Imam Abu Hanifah
Mereka
berpendapat bahwa ajir bertanggungjawab atas kerusakan, jika kerusakan disebabkan
oleh mereka walaupun tidak sengaja.
2.
Menurut
Ulama Malikiyah
Pekerja
bertanggungjawab atas kerusakan yang disebabkannya walaupun itu tidak disengaja
karena kelalaiannya.
Perubahan dari amanah menjadi
Tanggungjawab
Sesuatu yang ada ditangan ajir, menurut ulama Hanafiyah dianggap
sebagai amanah. Akan tetapi amanah tersebut akan menjadi tanggungjawab apabila
dalam keadaan berikut:
a.
Tidak
menjaganya
b.
Dirusak
dengan sengaja
c.
Menyalahi
pesanan penyewa
Gugurnya Upah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir,
apabila barang yang ditanggungnya rusak.
Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimiliki
oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya apabila barang berada
ditangannya, ia tidak mendapatkan upah.
Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat di atas, hanya
saja diuraikan lagi:
a.
Jika
benda ada ditangan ajir
1.
Jika
ada bekas pekerjaan, ajir berhak menda
2.
pat
upah sesuai bekas pekerjaan tersebut
3.
Jika
tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya
sampai akhir.
b.
Jika
benda berada ditangan penyewa
Pekerja
berhak mendapat upah seteleh selesai pekerja.
Pengekangan Barang
Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekang barang yang telah
ia kerjakan, sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa
pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggungjawab.
G.
Berakhirnya
Akad Ijarah
Sebenarnya,
tentang penghabisan ijarah telah di singgungb pada pembahasan terdahulu. Namun
demikian, akan dijelaskan kembali:
1.
Menurut
ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang
akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun
menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.
2.
Pembatalan
akad
3.
Terjadi
kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan
pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti
selagi masih dapat diganti.
4.
Habis
waktu, kecuali kalau ada uzur.
H.
Aplikasi
Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah
Pembiayaan ijarah adalah pembiayaan yang berupa talangan dana yang
dibutuhkan nasabah untuk memiliki sesuatu barang/jasa dengan kewajiban menyewa
barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuain dengan kesepakatan. Pada
akhirnya jangka waktu tersebut, pemilikan barang dihibahkan kepada nasabah atau
dibeli oleh nasabah. Bank memperoleh margin keuntungan melalui pembelian dari
pemasok dan sewa dari nasabah.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada
dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual-beli, namaun perbedaannya
terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli objek transaksinya adalah
adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya
kepada nasabah. Karena itu, dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahiyyah
bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan
harga jual disepakati pada awal perjanjian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar