Pengikut

Selasa, 28 Oktober 2014

Ijarah (Sewa-Menyewa)



A.    Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بَيْعُ الْمَنْفَعَةِ(menjual manfaat). Demikian juga artinya menurut terminologi syara’ yang dikemukakan menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a.       Ulama Hanafiyah:
عَقْدٌ عَلَى الْمَنَا فِعِ بِعَوْضٍ
Artinya
Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.      Ulama Asy-Syafi’iyah:
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَا حَةٍ قَا بِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلإِبَا حَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ.
Artinya
Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تَمْلِيْكُ مَنَا فِعِ شَىْءٍ مُبَا حَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya
Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah), yaitu mengambil manfaat tenaga manusia, ada juga yang menerjemahkan sewa-menyewa, yaitu mengambil manfaat dari barang. Namun, jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, karena semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.

B.     Dasar Hukum Ijarah
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Basri, Al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibn Kaisan beralasan bahwa ijarah adalah jual-beli kemanfataan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual-beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Quran, A-Sunah dan ijma’.
a.       Al-Quran
÷bÎ*sù ...z`÷è|Êör&ö/ä3s9£`èdqè?$t«sù£`èduqã_é&....
“kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Thalaq : 6)

26. Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
27. Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
(QS. Al-Qashash : 26-27)

b.      As-Sunah
اُعْطُواالْاَخِيْرَاَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه ابن ما جه عن ا بن عمر)
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah dari Ibn Umar)
مَنِ اسْتَأْ جَرَاَجِيْرًا فَلْيَعْمَلْ اَجْرَهُ. (رواه عبدالرزاق عن أبى هريرة)
Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh. Beri tahukanlah upahnya.” (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)

c.       Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.

C.    Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
a.       Rukun Ijarah
Menurut Jumhur ulama, rukun ijarah terdiri atas empat, yaitu:
1.      ‘Aqid (orang yang akad)
2.      Shighat akad
3.      Ujrah (upah)
4.      Manfaat
b.      Syarat Ijarah
Syarat ijarah terdiri atas empat macam, yaitu:
1.      Syarat Al-inqad (Terjadinya Akad)
Syarat ini berkaitan dengan aqid, zat akad dan tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Jadi, akad anak mumayyiz adalah sah tetapi tergantung atas keridhaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.
2.      Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Barang yang harus dimiliki oleh ‘aqid memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.      Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs al-‘aqad), antara lain:
a)      Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat tersebur didasarkan pada firman Allah SWT.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ : 29)
Ijarah dapat dikategorikan jual-beli karena mengandung unsur pertukaran harta.
b)      Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih (barang) menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid. Cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang), antara lain:
·         Penjelasan manfaat
·         Penjelasan waktu
·         Sewa bulanan
·         Penjelasan jenis pekerjaan
·         Penjelasan waktu kerja
c)      Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi syarat
d)     Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’, seperti menyewakan rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu, dan lain-lain.
e)      Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Misalnya menyewa orang untuk shalat fardu, puasa dan kewajiban yang lainnya.
f)       Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan karena manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Selain itu juga tidak boleh mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya.
g)      Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung karena tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.
4.      Syarat Barang Sewaan (Ma’qud ‘Alaih)
Syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai. Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual-beli.
5.      Syarat Ujrah (Upah)
Para ulama telah menetapkan syarah upah, yaitu:
·         Berupa harta tetap yang dapat diketahui
·         Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah
6.      Syarat yang Kembali pada Rukun Akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.
7.      Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal, antara lain:
·         Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat pada barang sewaan, penyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya.
·         Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya uzur sebab kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur disini adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan kemudharatan bagi yang akad. Uzur dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
a)      Uzur dari pihak penyewa
b)      Uzur dari pihak yang disewa
c)      Uzur dari barang yang disewa
Menurut jumhur ulama, ijarah adalah akad lazim, seperti jual-beli. Oleh karena itu, tidak bisa batal tanpa ada sebab yang membatalkannya. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, jika tidak ada uzur tetapi masih memungkinkan untuk diganti dengan barang yang lain, maka ijarah tidak batal tetapi diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika kemanfaatannya benar-benar hilang, seperti hancurnya rumah yang disewakan.

D.    Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Mengenai sifat akad ijarah, para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mensifati akad ijarah. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali terdapat cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.
Sedangkan hukum ijarah sendiri itu ada dua, yaitu :
1.      Hukum ijarah shahih, yaitu tetapnya kepemilikan kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan, sebab ijarah termasuk akad jual beli pertukaran hanya saja dalam bentuk kemanfaatan.
2.      Hukum ijarah rusak, yaitu jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau orang yang bekerja itu dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan itu disebabkan penyewa tidak memberi tahukan jenis pekerjaan perjanjiannya upah harus diberikan semestinya.

E.     Macam-macam Ijarah
Dalam hukum islam macam-macam ijarah terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang  dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa
2.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa.

F.     Tanggung Jawab rusaknya objek Ijarah
Tanggungjawab seorang Ajir
1.      Ajir Khusus
Ajir khusus yaitu orang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu rumah tangga. Jika ada barang yang rusak, ia tidak bertanggung jawab untuk menggantinya.
2.      Ajir Musytarik
Ajir musytarik itu misalnya seperti para pekerja pabrik. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan tanggung jawab mereka.
1.      Menurut Imam Ahmad dan dua sahabat Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa ajir bertanggungjawab atas kerusakan, jika kerusakan disebabkan oleh mereka walaupun tidak sengaja.
2.      Menurut Ulama Malikiyah
Pekerja bertanggungjawab atas kerusakan yang disebabkannya walaupun itu tidak disengaja karena kelalaiannya.
Perubahan dari amanah menjadi Tanggungjawab
Sesuatu yang ada ditangan ajir, menurut ulama Hanafiyah dianggap sebagai amanah. Akan tetapi amanah tersebut akan menjadi tanggungjawab apabila dalam keadaan berikut:
a.       Tidak menjaganya
b.      Dirusak dengan sengaja
c.       Menyalahi pesanan penyewa
Gugurnya Upah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila barang yang ditanggungnya rusak.
Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya apabila barang berada ditangannya, ia tidak mendapatkan upah.
Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat di atas, hanya saja diuraikan lagi:
a.       Jika benda ada ditangan ajir
1.      Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak menda
2.      pat upah sesuai bekas pekerjaan tersebut
3.      Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.
b.      Jika benda berada ditangan penyewa
Pekerja berhak mendapat upah seteleh selesai pekerja.
Pengekangan Barang
Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekang barang yang telah ia kerjakan, sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggungjawab.

G.    Berakhirnya Akad Ijarah
Sebenarnya, tentang penghabisan ijarah telah di singgungb pada pembahasan terdahulu. Namun demikian, akan dijelaskan kembali:
1.      Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.
2.      Pembatalan akad
3.      Terjadi kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti.
4.      Habis waktu, kecuali kalau ada uzur.

H.    Aplikasi Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah
Pembiayaan ijarah adalah pembiayaan yang berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk memiliki sesuatu barang/jasa dengan kewajiban menyewa barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuain dengan kesepakatan. Pada akhirnya jangka waktu tersebut, pemilikan barang dihibahkan kepada nasabah atau dibeli oleh nasabah. Bank memperoleh margin keuntungan melalui pembelian dari pemasok dan sewa dari nasabah.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual-beli, namaun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli objek transaksinya adalah adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu, dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahiyyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar