Pengikut

Selasa, 28 Oktober 2014

AL-HAKIM(SYARI),PENGERTIAN DAN PERDEBATAN TENTANG SUMBER HUKUM(KEKUATAN AKAL DAN WAHYU)



1.      Pengertian Al-Hakim
            Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian:
وا ضع الاحكام ومثبتها ومنثئها ومصدرها
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.

الذي يدرك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.

Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqh,karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at islam”:”siapakah yang menentukan hukum syara’,yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu; apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu , sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sangsi”.Dalam ilmu fiqh,hakim juga di sebut dengan syari.
Dari pengertian pertama di atas,hakim adalah Allah swt. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf.Oleh sebab itu, tidak ada syari’at dalam Islam kecuali dari Allah swt.,baik berkaitan dengan hukum-hukum taklifi (wajib,sunah,haram,makruh dan mubah) maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’i  (sebab,syarat,halangan,sah,batal,fasid,azimah dan rukhshah).Semua hukum ini,menurut kesepakatan para ulama, bersumber dari Allah swt. Dengan demikian, sumber hukum secara hakikat adalah Allah swt., baik hukum itu diturunkan-nya kepada nabi Muhammad saw. Melalui wahyu, maupun hasil ijtihad melalui berbagai teori istinbat.sunnah,ijma, dan metode istinbat hukum lainnya merupakan alat untuk menyikap hukum yang dating dari Allah swt. Dari pemahaman ini pulalah mereka mendefinisikan hukum sebagai “titah Allah swt. Yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf,baik berupa tuntutan,pemilihan maupun wadh’i.
Alasan yang dikemukakan para ulama ushul fiqh dalam mendukung pernyataan di atas,antara lain adalah firman Allah:

1.Surat Al-An’am,6:57:

 
57. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".


 2.Surat Al-Maidah,5:49:
                                                                                                                                   
49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka


3.Surat Al-Maidah,5:44:

44. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.


Di akhir ayat 45 surat al-Maidah Allah berfirman

45. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Dari pengertian kedua tentang hakim di atas,yaitu “yang menemukan memperkenalkan,dan menjelaskan hukum”, ulama ushul fiqih membedakannya sebagai berikut

1.Setelah kebangkitan Muhammad saw. Sebagai rasul dan sampainya dakwah islam keada masyarakat
            Dalam hal ini para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa hakim di sini adalah syariat yang turun dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Apa yang di halalkan Allah hukumnya halal dan apa yang diharamkan hukumnya haram.Yang dihalalkan Allah itu disebut hasan (baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia.Yang diharamkannya disebut qabih (buruk , di dalamnya terdapat kemudaratan atau kemafsadatan bagi manusia

2.Sebelum Muhammad saw. Diangkat sebagai rasul
            Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang siapa yang menemukan,memperkenalkan, dan menjelaskan hukum. Sebagian ulama eshul fiqh Ahlussunah wal Jama’ah mengatakan pada saat itu tidak ada hakim dan tidak ada hukum syar’I sebelum Muhammad saw. diangkat menjadi rasul. Alasan mereka hukum tidak bisa diperoleh kecuali melalui Rasul, sementara akan tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu menurut mereka hakim adalah Allah Ta’ala dan yang menyingkapkan hukum dari hakim itu adalah syara , dan syara belum ada
            Ulama Mu’tazilah mengatakan bahwa hakim itu pada hakikatnya adalah Allah Ta’ala tetapi akal mampu menemukan hukum-hukum Allah dan menyingkapkan serta menjelaskannya, sebelum datangnya syara.
            Persoalan ini oleh para ulama ushul fiqh dikenal dengan istilah “al-tahsin wa al-taqbih, yaitu menyatakan sesuatu itu baik atau buruk.


 2.Tahsin dan Taqbih

Ada beberapa pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang hasan dan qabih.
            Pertama, al-husnu, berarti seluruh perbuatan yang sesuai  dengan tabiat manusia,seperti rasa manis dan menolong orang yang tenggelam. Sedang qabih berarti sesuatu yang tidak disenangi tabiat manusia, seperti pahit dan mengambil harta orang lain secara aniaya.
            Kedua, al-husnu berarti sifat yang sempurna,seperi pengetahuan dan kemuliaan.Sedangkan qabih berarti sifat yang negative,berupa kekurangan seseorang,seperti bodoh dan kikir,Kedua pengertian hasan dan qabih ini disepakati oleh seluruh ulama bahwa hal itu dapat dicapai oleh akal.
Ketiga,al-husnu adalah sesuatu yang boleh dikerjakan manusia,dia mengetahui kebaikannya dan mampu mengerjakannya,Sedangkan qabih kebalikan dari itu,yaitu sesuatu yang tidak boleh dikerjakan manusia dan tidak dapat dicapai oleh akal.
Keempat,al-husnu berarti sesuatu yang apabila dikerjakan maka orang yang mengerjakannya mendapat pujian di dunia dan mendapat imbalan pahala di akhirat,seperti taat.Sedangkan qabih berarti sesuatu yang apabila dikerjakan maka orang mengerjakannya mendapat cercaan di dunia dan mendapat siksaan di akhirat,seperti mengerjakan maksiat. Pengertian ketiga dan keempat in menjadi persoalan bagi para ulama, apakah hal tersebut dapat dicapai oleh akal atau tidak.
Ulama asy’ariyah berpendapat bahwa hasan dan qabih dalam pengertian ketiga dan keempat di atas bersifat syar’i dan harus di tentukan oleh syara , karena keduanya hanya dapat diketahui melalui syara. Baik atau buruk bukanlah terdapat pada zatnya , tetapi bersifat nisbih (relative).
Ulama mu’tazilah mengatakan bahwa hasan dan qabih seluruhnya dapat dicapai dan ditentukan oleh akal. Akal dapat menentukan baik atau buruknya sesuatu tanpa harus diberi tahu oleh syara. Bagi mereka, sebagian yang baik dan yang buruk terletak pada zatnya dan sebagian yang lain terletak antara manfaat, mudharat, baik dan buruk.


3.Kemampuan Akal Mengetahui syari’at
          Mengenai peran dan kemampuan akal untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at, ada 3 pendapat yang dikemukakan para ulama ushul fiqh .
1.Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa sebelum diangkatnya rasul dan turunnya syari’at, akal manusia tidak mampu menetapkan hukum. Akal tidak bisa mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa perantaraan rasul dan kitab-kitab samawi (kitab yang datang dari Allah).Alasan meraka adalah firman Allah dalam surat (al-isra,17:15):
15.Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

           

        Dalam ayat ini Allah secara tegas meniadakan perhitungan dan azab atau siksa terhadap seseorang sebelum kepadanya sampai ( diutus) seorang rasul yang membawa risalah ilahi. Di samping itu , dalam surat (an-nisa ,4:165),Allah berfirman
165. agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.

            Ayat ini juga menunjukan bahwa pertanggung jawaban dan perhitungan terhadap manusia hanya akan dilakukan setelah di utus-Nya para rasul untuk menyampaikan hukum-hukum Allah kepada umat manusia .
            Secara logika , menurut ahlussunnah wal Jamaah , tidak ada kewajiban bagi Allah untuk menetapkan baik terhadap sesuatu yang dipandang baik oleh akal, sehingga manusia diperintahkan untuk mengerjakannya. Allah juga tidak berkewajiban menetapkan keburukan yang dipandang buruk oleh akal manusia, sehingga manusia diperintahkan untuk meninggalkannya. Allah mempunyai kehendak yang mutlak tanpa bergantung pada sesuatu. Ia bisa melakukan apa saja dan kepada siapa saja, sekalipun hal itu tidak bermanfaat . namun, berdasarkan induksi dari berbagai firman Allah di ketahui bahwa apa yang diperintahkan Allah itu pasti mengandung manfaat bagi umat manusia dan apa yang dilarang pasti mengandung ke mudharatan

2.Mu’tazilah mengatakan , bahwa akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah tersebut sebelum datangnya syari’at. Akal manusia bisa menentukan sesuatu itu baik dan buruk tanpa perantaraan kitab samawi dan rasul.Sesuatu di katakana baik dan buruk terletak pada zatnya. Oleh sebab itu, baik dan buruk dapat dicapai dan ditetapkan melalui akal . Alasan mereka adalah ayat yang dikemukakan ahlussunnah wal Jama’ah di atas . Menurut mereka kalimat “rasul” dalam ayat itu berarti akal.Oleh sebab itu , terjemahan ayat tersebut bagi mereka adalah”kami tidak akan mengazab seseorang sampai kami berikan akal kepadanya.”
             Secara logika , menurut mereka , sebagian perbuatan dan perkataan itu, seperti iman dan bersikap benar, merupakan pekerjaan yang semestinya diperbuat manusia ;untuk itu orang yang melakukan pekerjaan tersebut dipuji, karena sikap iman dan sikap benar itu baik pada zatnya sendiri.Sebaliknya, ada perbuatan yang pada zatnya adalah buruk  dan akal menolak untuk melakukannya, seperti berdusta, member mudharat kepada orang lain dan bersikap kafir. Perbuatan-perbuatan seperti ini apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat kecaman dari manusia.Oleh sebab itu, dalam perbuatan dan perkataan seperti ini tidak diperlukan adanya alasan untuk mendukungnya .Perinsip yang dipegang kaum mu’tazilah dalam persoalan ini adalah bahwa hasan dan qabih merupakan produk akal , bukan didasarkan pada syara. Akibat dari pendapat ini adalah bahwa bagi orang yang belum sampai kepadanya syari’at dan rasul, dikenakan kewajiban melaksanakan sesuatu yang menurut akalnya baik dan untuk itu mereka diberi Allah imbalan.Disamping itu, mereka juga di tuntut untuk meninggalkan perbuatan yang oleh akalnya dinilai buruk, dan apabila mereka kerjakan , maka mereka akan mendapat hukuman dari Allah.
            Mu’tazilah juga berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan Allah bagi manusia merupakan sesuatu yang dapat di capai oleh akal karena pada perbuatan itu terdapat manfaat atau mudharat. Terhadap perbuatan atau perkataan seperti ini , Allah menetapkan hukum bagi manusia,yaitu perintah untuk melaksanakanya apabila baik, dan meninggalkannya apabila buruk.Dengan demikian , yang baik menurut akal adalah baik dan di tuntut oleh syara untuk dikerjakan serta yang mengerjakannya diberi pahala.Sebaliknya, yang buruk dalam pandangan akal dituntut oleh syara untuk di tinggalkan dan yang mengerjakannya akan diberi hukuman

3.maturidiyyah berupaya menengahi kedua pendapat di atas .Menurut mereka , ada perbuatan atau perkataan yang pada zatnya baik dan buruk .Allah tidak memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan yang pada zatnya buruk,sebagaimana Allah juga tidak melarang suatu perbuatan yang pada zatnya adalah baik .Terhadap perkataan dan perbuataan lain yang kebaikan dan keburukannya  tidak terletak pada zat perbuatan dan perkataan itu sendiri, syara mempunyai wewenang untuk menetapkannya.Sampai disini maturidiyyah sama dengan pendapat mu’tazilah.
            Akan tetapi, maturidiyyah berpendapat bahwa perbuatan atau perkataan yang dipandang baik atau buruk oleh akal tidak wajib dikerjakan dan orang yang mengerjakannya tidak akan mendapat imbalan semata-mata melalui akal. Demikian pula sebaliknya menurut mereka, kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan ketentuan imbalan bagi pelakunya tidak dapat ditetapkan oleh akan semata, tetapi harus didasarkan oleh nash(ayat/hadits).Demikian pula kewajiban untuk meninggalkan perbuatan atau perkataan yang dianggap buruk oleh akal dan siksa yang ditimpakan atas pelakunya,tidak dapat ditentukan melalui akal saja,tetapi harus dengan nash,Menurut mereka.akal tidak dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu menentukan kewajiban.Implikasi dari pendapat mereka ini adalah, sekalipun manusia melalui akalnya dapat menentukan baik atau buruknya sesuatu sebelum pemberitahuan dari kitab samawi dan rasul, namun akal tidak dapat menentukan bahwa yang baik itu wajib dikerjakan dan yang buruk itu wajib ditinggalkan. Persoalan imbalan atau siksa juga tidak ditentukan oleh akal.Seseorang yang sebelum adanya syari’at tidak mengerjakan yang baik tidak dapat dikenakan sanksi dan yang melakukan sesuatu yang buruk tidak pula dapat dikenakan sanksi berdasarkan pendapat akal semata.
            Allah juga tidak wajib memerintahkan manusia untu melakukan sesuatu yang baik menurut akal ,sebagaimana Allah juga tidak wajib memerintahkan untuk meninggalkan pekerjaan yang menurut akal adalah buruk .
            Implikasi lain dari perbedaan pendapat di atas yang berkaitan dengan masalah hukum terletak pada masalah pososo akal dalam ijtihad,apakah akal dapat menjadi salah satu sumber hukum? Ahlussunnah wal Jama’ah dan maturidiyyah berpendapat bahwa akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi sumber hukum islam.akan tetapi, menurut mereka, akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara dalam mensyari’atkan hukum dan menetapkan kaidah-kaidah umum dalam menggali hukum islam, bukan sebagai penentu hukum. Menurut Muhammad abu Zahra, seluruh produk fiqh merupakan hasil daya nalar manusia yang sampai saat ini tidak akan habis-habisnya. Tetapi, nalar yang dipergunakan manusia tersebut harus senantiasa bersandar pada nash, bukan terlepas sama sekali dari nash
            Sedangkan mu’tazilah dan syi’ah Ja’fariyyah mengatakan bahwa akal merupakan sumber. Hukum islam ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.


1 komentar: