Pengikut

Selasa, 28 Oktober 2014

AL-HAKIM(SYARI),PENGERTIAN DAN PERDEBATAN TENTANG SUMBER HUKUM(KEKUATAN AKAL DAN WAHYU)



1.      Pengertian Al-Hakim
            Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian:
وا ضع الاحكام ومثبتها ومنثئها ومصدرها
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.

الذي يدرك الاحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.

Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqh,karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at islam”:”siapakah yang menentukan hukum syara’,yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu; apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu , sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sangsi”.Dalam ilmu fiqh,hakim juga di sebut dengan syari.
Dari pengertian pertama di atas,hakim adalah Allah swt. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf.Oleh sebab itu, tidak ada syari’at dalam Islam kecuali dari Allah swt.,baik berkaitan dengan hukum-hukum taklifi (wajib,sunah,haram,makruh dan mubah) maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’i  (sebab,syarat,halangan,sah,batal,fasid,azimah dan rukhshah).Semua hukum ini,menurut kesepakatan para ulama, bersumber dari Allah swt. Dengan demikian, sumber hukum secara hakikat adalah Allah swt., baik hukum itu diturunkan-nya kepada nabi Muhammad saw. Melalui wahyu, maupun hasil ijtihad melalui berbagai teori istinbat.sunnah,ijma, dan metode istinbat hukum lainnya merupakan alat untuk menyikap hukum yang dating dari Allah swt. Dari pemahaman ini pulalah mereka mendefinisikan hukum sebagai “titah Allah swt. Yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf,baik berupa tuntutan,pemilihan maupun wadh’i.
Alasan yang dikemukakan para ulama ushul fiqh dalam mendukung pernyataan di atas,antara lain adalah firman Allah:

1.Surat Al-An’am,6:57:

 
57. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik".


 2.Surat Al-Maidah,5:49:
                                                                                                                                   
49. dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka


3.Surat Al-Maidah,5:44:

44. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.


Di akhir ayat 45 surat al-Maidah Allah berfirman

45. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Dari pengertian kedua tentang hakim di atas,yaitu “yang menemukan memperkenalkan,dan menjelaskan hukum”, ulama ushul fiqih membedakannya sebagai berikut

1.Setelah kebangkitan Muhammad saw. Sebagai rasul dan sampainya dakwah islam keada masyarakat
            Dalam hal ini para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa hakim di sini adalah syariat yang turun dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Apa yang di halalkan Allah hukumnya halal dan apa yang diharamkan hukumnya haram.Yang dihalalkan Allah itu disebut hasan (baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia.Yang diharamkannya disebut qabih (buruk , di dalamnya terdapat kemudaratan atau kemafsadatan bagi manusia

2.Sebelum Muhammad saw. Diangkat sebagai rasul
            Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang siapa yang menemukan,memperkenalkan, dan menjelaskan hukum. Sebagian ulama eshul fiqh Ahlussunah wal Jama’ah mengatakan pada saat itu tidak ada hakim dan tidak ada hukum syar’I sebelum Muhammad saw. diangkat menjadi rasul. Alasan mereka hukum tidak bisa diperoleh kecuali melalui Rasul, sementara akan tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu menurut mereka hakim adalah Allah Ta’ala dan yang menyingkapkan hukum dari hakim itu adalah syara , dan syara belum ada
            Ulama Mu’tazilah mengatakan bahwa hakim itu pada hakikatnya adalah Allah Ta’ala tetapi akal mampu menemukan hukum-hukum Allah dan menyingkapkan serta menjelaskannya, sebelum datangnya syara.
            Persoalan ini oleh para ulama ushul fiqh dikenal dengan istilah “al-tahsin wa al-taqbih, yaitu menyatakan sesuatu itu baik atau buruk.


 2.Tahsin dan Taqbih

Ada beberapa pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang hasan dan qabih.
            Pertama, al-husnu, berarti seluruh perbuatan yang sesuai  dengan tabiat manusia,seperti rasa manis dan menolong orang yang tenggelam. Sedang qabih berarti sesuatu yang tidak disenangi tabiat manusia, seperti pahit dan mengambil harta orang lain secara aniaya.
            Kedua, al-husnu berarti sifat yang sempurna,seperi pengetahuan dan kemuliaan.Sedangkan qabih berarti sifat yang negative,berupa kekurangan seseorang,seperti bodoh dan kikir,Kedua pengertian hasan dan qabih ini disepakati oleh seluruh ulama bahwa hal itu dapat dicapai oleh akal.
Ketiga,al-husnu adalah sesuatu yang boleh dikerjakan manusia,dia mengetahui kebaikannya dan mampu mengerjakannya,Sedangkan qabih kebalikan dari itu,yaitu sesuatu yang tidak boleh dikerjakan manusia dan tidak dapat dicapai oleh akal.
Keempat,al-husnu berarti sesuatu yang apabila dikerjakan maka orang yang mengerjakannya mendapat pujian di dunia dan mendapat imbalan pahala di akhirat,seperti taat.Sedangkan qabih berarti sesuatu yang apabila dikerjakan maka orang mengerjakannya mendapat cercaan di dunia dan mendapat siksaan di akhirat,seperti mengerjakan maksiat. Pengertian ketiga dan keempat in menjadi persoalan bagi para ulama, apakah hal tersebut dapat dicapai oleh akal atau tidak.
Ulama asy’ariyah berpendapat bahwa hasan dan qabih dalam pengertian ketiga dan keempat di atas bersifat syar’i dan harus di tentukan oleh syara , karena keduanya hanya dapat diketahui melalui syara. Baik atau buruk bukanlah terdapat pada zatnya , tetapi bersifat nisbih (relative).
Ulama mu’tazilah mengatakan bahwa hasan dan qabih seluruhnya dapat dicapai dan ditentukan oleh akal. Akal dapat menentukan baik atau buruknya sesuatu tanpa harus diberi tahu oleh syara. Bagi mereka, sebagian yang baik dan yang buruk terletak pada zatnya dan sebagian yang lain terletak antara manfaat, mudharat, baik dan buruk.


3.Kemampuan Akal Mengetahui syari’at
          Mengenai peran dan kemampuan akal untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at, ada 3 pendapat yang dikemukakan para ulama ushul fiqh .
1.Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa sebelum diangkatnya rasul dan turunnya syari’at, akal manusia tidak mampu menetapkan hukum. Akal tidak bisa mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa perantaraan rasul dan kitab-kitab samawi (kitab yang datang dari Allah).Alasan meraka adalah firman Allah dalam surat (al-isra,17:15):
15.Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

           

        Dalam ayat ini Allah secara tegas meniadakan perhitungan dan azab atau siksa terhadap seseorang sebelum kepadanya sampai ( diutus) seorang rasul yang membawa risalah ilahi. Di samping itu , dalam surat (an-nisa ,4:165),Allah berfirman
165. agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.

            Ayat ini juga menunjukan bahwa pertanggung jawaban dan perhitungan terhadap manusia hanya akan dilakukan setelah di utus-Nya para rasul untuk menyampaikan hukum-hukum Allah kepada umat manusia .
            Secara logika , menurut ahlussunnah wal Jamaah , tidak ada kewajiban bagi Allah untuk menetapkan baik terhadap sesuatu yang dipandang baik oleh akal, sehingga manusia diperintahkan untuk mengerjakannya. Allah juga tidak berkewajiban menetapkan keburukan yang dipandang buruk oleh akal manusia, sehingga manusia diperintahkan untuk meninggalkannya. Allah mempunyai kehendak yang mutlak tanpa bergantung pada sesuatu. Ia bisa melakukan apa saja dan kepada siapa saja, sekalipun hal itu tidak bermanfaat . namun, berdasarkan induksi dari berbagai firman Allah di ketahui bahwa apa yang diperintahkan Allah itu pasti mengandung manfaat bagi umat manusia dan apa yang dilarang pasti mengandung ke mudharatan

2.Mu’tazilah mengatakan , bahwa akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah tersebut sebelum datangnya syari’at. Akal manusia bisa menentukan sesuatu itu baik dan buruk tanpa perantaraan kitab samawi dan rasul.Sesuatu di katakana baik dan buruk terletak pada zatnya. Oleh sebab itu, baik dan buruk dapat dicapai dan ditetapkan melalui akal . Alasan mereka adalah ayat yang dikemukakan ahlussunnah wal Jama’ah di atas . Menurut mereka kalimat “rasul” dalam ayat itu berarti akal.Oleh sebab itu , terjemahan ayat tersebut bagi mereka adalah”kami tidak akan mengazab seseorang sampai kami berikan akal kepadanya.”
             Secara logika , menurut mereka , sebagian perbuatan dan perkataan itu, seperti iman dan bersikap benar, merupakan pekerjaan yang semestinya diperbuat manusia ;untuk itu orang yang melakukan pekerjaan tersebut dipuji, karena sikap iman dan sikap benar itu baik pada zatnya sendiri.Sebaliknya, ada perbuatan yang pada zatnya adalah buruk  dan akal menolak untuk melakukannya, seperti berdusta, member mudharat kepada orang lain dan bersikap kafir. Perbuatan-perbuatan seperti ini apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat kecaman dari manusia.Oleh sebab itu, dalam perbuatan dan perkataan seperti ini tidak diperlukan adanya alasan untuk mendukungnya .Perinsip yang dipegang kaum mu’tazilah dalam persoalan ini adalah bahwa hasan dan qabih merupakan produk akal , bukan didasarkan pada syara. Akibat dari pendapat ini adalah bahwa bagi orang yang belum sampai kepadanya syari’at dan rasul, dikenakan kewajiban melaksanakan sesuatu yang menurut akalnya baik dan untuk itu mereka diberi Allah imbalan.Disamping itu, mereka juga di tuntut untuk meninggalkan perbuatan yang oleh akalnya dinilai buruk, dan apabila mereka kerjakan , maka mereka akan mendapat hukuman dari Allah.
            Mu’tazilah juga berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan Allah bagi manusia merupakan sesuatu yang dapat di capai oleh akal karena pada perbuatan itu terdapat manfaat atau mudharat. Terhadap perbuatan atau perkataan seperti ini , Allah menetapkan hukum bagi manusia,yaitu perintah untuk melaksanakanya apabila baik, dan meninggalkannya apabila buruk.Dengan demikian , yang baik menurut akal adalah baik dan di tuntut oleh syara untuk dikerjakan serta yang mengerjakannya diberi pahala.Sebaliknya, yang buruk dalam pandangan akal dituntut oleh syara untuk di tinggalkan dan yang mengerjakannya akan diberi hukuman

3.maturidiyyah berupaya menengahi kedua pendapat di atas .Menurut mereka , ada perbuatan atau perkataan yang pada zatnya baik dan buruk .Allah tidak memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan yang pada zatnya buruk,sebagaimana Allah juga tidak melarang suatu perbuatan yang pada zatnya adalah baik .Terhadap perkataan dan perbuataan lain yang kebaikan dan keburukannya  tidak terletak pada zat perbuatan dan perkataan itu sendiri, syara mempunyai wewenang untuk menetapkannya.Sampai disini maturidiyyah sama dengan pendapat mu’tazilah.
            Akan tetapi, maturidiyyah berpendapat bahwa perbuatan atau perkataan yang dipandang baik atau buruk oleh akal tidak wajib dikerjakan dan orang yang mengerjakannya tidak akan mendapat imbalan semata-mata melalui akal. Demikian pula sebaliknya menurut mereka, kewajiban untuk mengerjakan yang baik dan ketentuan imbalan bagi pelakunya tidak dapat ditetapkan oleh akan semata, tetapi harus didasarkan oleh nash(ayat/hadits).Demikian pula kewajiban untuk meninggalkan perbuatan atau perkataan yang dianggap buruk oleh akal dan siksa yang ditimpakan atas pelakunya,tidak dapat ditentukan melalui akal saja,tetapi harus dengan nash,Menurut mereka.akal tidak dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu menentukan kewajiban.Implikasi dari pendapat mereka ini adalah, sekalipun manusia melalui akalnya dapat menentukan baik atau buruknya sesuatu sebelum pemberitahuan dari kitab samawi dan rasul, namun akal tidak dapat menentukan bahwa yang baik itu wajib dikerjakan dan yang buruk itu wajib ditinggalkan. Persoalan imbalan atau siksa juga tidak ditentukan oleh akal.Seseorang yang sebelum adanya syari’at tidak mengerjakan yang baik tidak dapat dikenakan sanksi dan yang melakukan sesuatu yang buruk tidak pula dapat dikenakan sanksi berdasarkan pendapat akal semata.
            Allah juga tidak wajib memerintahkan manusia untu melakukan sesuatu yang baik menurut akal ,sebagaimana Allah juga tidak wajib memerintahkan untuk meninggalkan pekerjaan yang menurut akal adalah buruk .
            Implikasi lain dari perbedaan pendapat di atas yang berkaitan dengan masalah hukum terletak pada masalah pososo akal dalam ijtihad,apakah akal dapat menjadi salah satu sumber hukum? Ahlussunnah wal Jama’ah dan maturidiyyah berpendapat bahwa akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi sumber hukum islam.akan tetapi, menurut mereka, akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara dalam mensyari’atkan hukum dan menetapkan kaidah-kaidah umum dalam menggali hukum islam, bukan sebagai penentu hukum. Menurut Muhammad abu Zahra, seluruh produk fiqh merupakan hasil daya nalar manusia yang sampai saat ini tidak akan habis-habisnya. Tetapi, nalar yang dipergunakan manusia tersebut harus senantiasa bersandar pada nash, bukan terlepas sama sekali dari nash
            Sedangkan mu’tazilah dan syi’ah Ja’fariyyah mengatakan bahwa akal merupakan sumber. Hukum islam ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.


Ijarah (Sewa-Menyewa)



A.    Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بَيْعُ الْمَنْفَعَةِ(menjual manfaat). Demikian juga artinya menurut terminologi syara’ yang dikemukakan menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a.       Ulama Hanafiyah:
عَقْدٌ عَلَى الْمَنَا فِعِ بِعَوْضٍ
Artinya
Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.      Ulama Asy-Syafi’iyah:
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَا حَةٍ قَا بِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَاْلإِبَا حَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ.
Artinya
Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تَمْلِيْكُ مَنَا فِعِ شَىْءٍ مُبَا حَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya
Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah), yaitu mengambil manfaat tenaga manusia, ada juga yang menerjemahkan sewa-menyewa, yaitu mengambil manfaat dari barang. Namun, jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, karena semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.

B.     Dasar Hukum Ijarah
Hampir semua ulama fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Basri, Al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibn Kaisan beralasan bahwa ijarah adalah jual-beli kemanfataan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan jual-beli.
Dalam menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Quran, A-Sunah dan ijma’.
a.       Al-Quran
÷bÎ*sù ...z`÷è|Êör&ö/ä3s9£`èdqè?$t«sù£`èduqã_é&....
“kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. At-Thalaq : 6)

26. Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
27. Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik".
(QS. Al-Qashash : 26-27)

b.      As-Sunah
اُعْطُواالْاَخِيْرَاَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه ابن ما جه عن ا بن عمر)
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah dari Ibn Umar)
مَنِ اسْتَأْ جَرَاَجِيْرًا فَلْيَعْمَلْ اَجْرَهُ. (رواه عبدالرزاق عن أبى هريرة)
Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh. Beri tahukanlah upahnya.” (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)

c.       Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.

C.    Rukun dan Syarat-syarat Ijarah
a.       Rukun Ijarah
Menurut Jumhur ulama, rukun ijarah terdiri atas empat, yaitu:
1.      ‘Aqid (orang yang akad)
2.      Shighat akad
3.      Ujrah (upah)
4.      Manfaat
b.      Syarat Ijarah
Syarat ijarah terdiri atas empat macam, yaitu:
1.      Syarat Al-inqad (Terjadinya Akad)
Syarat ini berkaitan dengan aqid, zat akad dan tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Jadi, akad anak mumayyiz adalah sah tetapi tergantung atas keridhaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.
2.      Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Barang yang harus dimiliki oleh ‘aqid memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.      Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs al-‘aqad), antara lain:
a)      Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat tersebur didasarkan pada firman Allah SWT.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’ : 29)
Ijarah dapat dikategorikan jual-beli karena mengandung unsur pertukaran harta.
b)      Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih (barang) menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid. Cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang), antara lain:
·         Penjelasan manfaat
·         Penjelasan waktu
·         Sewa bulanan
·         Penjelasan jenis pekerjaan
·         Penjelasan waktu kerja
c)      Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi syarat
d)     Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’, seperti menyewakan rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu, dan lain-lain.
e)      Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
Misalnya menyewa orang untuk shalat fardu, puasa dan kewajiban yang lainnya.
f)       Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan karena manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Selain itu juga tidak boleh mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya.
g)      Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung karena tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.
4.      Syarat Barang Sewaan (Ma’qud ‘Alaih)
Syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai. Hal itu didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual-beli.
5.      Syarat Ujrah (Upah)
Para ulama telah menetapkan syarah upah, yaitu:
·         Berupa harta tetap yang dapat diketahui
·         Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah
6.      Syarat yang Kembali pada Rukun Akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.
7.      Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal, antara lain:
·         Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat pada barang sewaan, penyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya.
·         Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya uzur sebab kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur disini adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan kemudharatan bagi yang akad. Uzur dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
a)      Uzur dari pihak penyewa
b)      Uzur dari pihak yang disewa
c)      Uzur dari barang yang disewa
Menurut jumhur ulama, ijarah adalah akad lazim, seperti jual-beli. Oleh karena itu, tidak bisa batal tanpa ada sebab yang membatalkannya. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, jika tidak ada uzur tetapi masih memungkinkan untuk diganti dengan barang yang lain, maka ijarah tidak batal tetapi diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika kemanfaatannya benar-benar hilang, seperti hancurnya rumah yang disewakan.

D.    Sifat dan Hukum Akad Ijarah
Mengenai sifat akad ijarah, para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mensifati akad ijarah. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali terdapat cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.
Sedangkan hukum ijarah sendiri itu ada dua, yaitu :
1.      Hukum ijarah shahih, yaitu tetapnya kepemilikan kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan, sebab ijarah termasuk akad jual beli pertukaran hanya saja dalam bentuk kemanfaatan.
2.      Hukum ijarah rusak, yaitu jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau orang yang bekerja itu dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi, jika kerusakan itu disebabkan penyewa tidak memberi tahukan jenis pekerjaan perjanjiannya upah harus diberikan semestinya.

E.     Macam-macam Ijarah
Dalam hukum islam macam-macam ijarah terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang  dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa
2.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa.

F.     Tanggung Jawab rusaknya objek Ijarah
Tanggungjawab seorang Ajir
1.      Ajir Khusus
Ajir khusus yaitu orang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu rumah tangga. Jika ada barang yang rusak, ia tidak bertanggung jawab untuk menggantinya.
2.      Ajir Musytarik
Ajir musytarik itu misalnya seperti para pekerja pabrik. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan tanggung jawab mereka.
1.      Menurut Imam Ahmad dan dua sahabat Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa ajir bertanggungjawab atas kerusakan, jika kerusakan disebabkan oleh mereka walaupun tidak sengaja.
2.      Menurut Ulama Malikiyah
Pekerja bertanggungjawab atas kerusakan yang disebabkannya walaupun itu tidak disengaja karena kelalaiannya.
Perubahan dari amanah menjadi Tanggungjawab
Sesuatu yang ada ditangan ajir, menurut ulama Hanafiyah dianggap sebagai amanah. Akan tetapi amanah tersebut akan menjadi tanggungjawab apabila dalam keadaan berikut:
a.       Tidak menjaganya
b.      Dirusak dengan sengaja
c.       Menyalahi pesanan penyewa
Gugurnya Upah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan upah bagi ajir, apabila barang yang ditanggungnya rusak.
Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja ditempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya apabila barang berada ditangannya, ia tidak mendapatkan upah.
Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan pendapat di atas, hanya saja diuraikan lagi:
a.       Jika benda ada ditangan ajir
1.      Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak menda
2.      pat upah sesuai bekas pekerjaan tersebut
3.      Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.
b.      Jika benda berada ditangan penyewa
Pekerja berhak mendapat upah seteleh selesai pekerja.
Pengekangan Barang
Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk mengekang barang yang telah ia kerjakan, sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi, jika dalam masa pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggungjawab.

G.    Berakhirnya Akad Ijarah
Sebenarnya, tentang penghabisan ijarah telah di singgungb pada pembahasan terdahulu. Namun demikian, akan dijelaskan kembali:
1.      Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.
2.      Pembatalan akad
3.      Terjadi kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi, menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti.
4.      Habis waktu, kecuali kalau ada uzur.

H.    Aplikasi Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah
Pembiayaan ijarah adalah pembiayaan yang berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk memiliki sesuatu barang/jasa dengan kewajiban menyewa barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuain dengan kesepakatan. Pada akhirnya jangka waktu tersebut, pemilikan barang dihibahkan kepada nasabah atau dibeli oleh nasabah. Bank memperoleh margin keuntungan melalui pembelian dari pemasok dan sewa dari nasabah.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual-beli, namaun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli objek transaksinya adalah adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu, dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahiyyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian